Sunday, December 25, 2011

Lapisan



Aku ingin menceritakan tentang pengalaman dalam pertemanan, mungkin semua orang pernah mengalami apa yang aku alami saat ini dan dulu, atau nanti yang akan datang (mungkin).
Saat itu pasti kita merasa terkhianati dan dipermainkan atas perilaku yang kita terima dari salah satu atau beberapa teman kita. Bahkan tak jarang banyak orang kecewa dan sempat tak bisa mempercayai kembali orang yang berbuat kesalahan yang semacam itu kepada kita. Sebut saja dia si muka dua. Dalam gambaran kehidupan, dia bagai sahabat yang rupawan akan berbagai kebaikan yang dipersembahkan untuk kita. 

Tutur katanya yang bersahabat dengan mudah hati ku untuk memahami juga semakin mendewasakan solidaritas dalam pertemanan. Rangkulan tangan hangatnya tak menyurutkan rasa manja ku untuk selalu menceritakan hal-hal yang bernilai privasi tenntang kerasnya pengalaman hidupku padanya. Dia terlanjur menjadi peneduh ketika api hati ku menyala, atau gumpalan darah dan otak ku yang membeku.

Aku, yang merasa menjadi belahan jiwanya seakan yakin dengan kepercayaan yang tertancap pada ucapannya. Wadah kejenuhanku pada kehidupanku adalah dia. Aku menyanyanginya..

Tuhan tahu apa yang menjadi skenario-Nya. Dan dia menghianatiku. Sekali lagi ini skenario-Nya.

Benar, aku sungguh kecewa, aku begitu sakit hati. Tapi apa yang bisa kuperbuat, aku diam. Acuh tak acuh. Muak untuk peduli dengannya. Dia? Sudah maksimal menyakitiku. Kenapa harus dia? Karena Tuhan yang meminta.

Banyak sekali kebaikan yang ia tanam dalam perjalanan pertemananku dengannya, tapi untuk menghapusnya begitu mudah. Seiring dengan seruan kekecewaanku dalam hitungan sekon. Setuju dengan ucapan pepatah : “Mudah sekali memaafkan musuh,tetapi sungguh sulit memaafkan sahabat”.

Sudah, akhiri saja hubungi pertemanan ini kalau hanya melahirkan luka. Cukup sekali saja aku mengenalnya dan selesai. Dia adalah kecewa..

Pernah? Pasti semua orang pernah mengalami hal serupa denganku. Dan untuk memaafkan itu relatif. Semoga kamu tidak sepertiku yang sulit memaafkan kesalahan orang lain, karena pada hakikatnya tak ada satupun insan yang tak bersalah. Tapi, sekali lagi, ini masalah hati yang sifatnya lunak untuk disakiti. Mungkin butuh hitungan waktu untuk memaafkan dengan hati tulus, tanpa rasa pura-pura. Aku hanya tak ingin munafik, dan mengumbar kebaikan dibalik kekecewaan. Maka sebaiknya aku menepi dari kegersangan masa lalu.

Sedikit demi sedikit aku mulai pembelajaranku, bahwasannya rasa maaf itu penting meski itu sulit. Sesulit mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Tuhan yang menyuruhku memaafkannya, apa aku harus menolak?

Jika aku dikhianati, seharusnya aku mengerti akan maksud Tuhan agar ku berguru pada kesalahan orang lain yang kebetulan akulah korbannya. Tuhan tak mau jika aku harus mengulang kesalahan itu dan kulakukan pada orang-orang tercintaku nanti. Tuhan tak ingin aku mengecewakan mereka. ini cara Tuhan. Seharusnya aku  memahami cara Tuhan menyayangi kehidupanku dengan berlaku seperti itu.

image : klikunic

No comments:

Post a Comment

 

fastadendron | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates